Pemantauan Pertumbuhan Balita di Lombok Barat dengan Aplikasi “dr. Sapto Anthro”

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta- Kasus stunting maupun gizi buruk di Indonesia seringkali tidak terdeteksi dengan cepat dan akurat. Salah satu penyebabnya adalah perhitungan manual menggunakan baku World Health Organization (WHO) untuk menilai status gizi balita yang cukup sulit dilakukan. 

Baku WHO ini menggunakan parameter berat badan/umur (BB/U), panjang badan/tinggi badan/umur (PB/TB/U), dan berat badan/tinggi badan (BB/TB). “Karena kompleksnya perhitungan dengan parameter WHO, waktu yang digunakan di lapangan untuk melakukan penilaian gizi balita cukup lama sekitar 3 menit 14 detik, sementara parameter lengkap hingga 10 menit,” ujar inovator Aplikasi “dr. Sapto-Anthro” dr. Sapto Sutardi dalam presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik 2020, secara virtual beberapa waktu lalu. 

Menurut dokter Puskesmas Labuapi Kab. Lombok Barat ini, hal tersebut menunjukkan penilaian status gizi relatif sulit, kurang akurat, dan menghabiskan waktu meski sudah dilakukan oleh tenaga profesional. Permasalahan lainnya, penilaian status gizi masih bertumpu di petugas kesehatan dan kader, sehingga keterlibatan masyarakat luas belum optimal dilakukan. 

“Sebesar 30 persen penilaian gizi balita dengan panduan dari Kementerian Kesehatan salah karena prosesnya masih manual, meskipun sudah dilakukan oleh profesional,” imbuhnya. 

Aplikasi “dr. Sapto-Anthro” diinisiasi dengan tujuan untuk mempermudah, mempercepat, meningkatkan akurasi penemuan dan intervensi status gizi Balita di Lombok Barat. Aplikasi ini juga dapat meningkatkan pelibatan masyarakat dalam penilaian status gizi bagi putra-putri mereka karena penggunaannya yang tidak rumit. 

Dijelaskan, kelebihan dari aplikasi ini adalah tidak mengharuskan adanya jaringan komunikasi/internet setelah aplikasi tersebut berhasil ter-install pada telepon pintar. Masyarakat dapat melakukan penilaian status gizi sebagai penapisan (screening) awal secara offline dengan aplikasi sebelum diverifikasi oleh petugas kesehatan. 

  Aplikasi ini diadaptasi dari WHO-Anthro dan WHO-Anthro plus. Dua aplikasi terebut berjalan di atas OS Komputer Windows yang membuatnya menjadi tidak portable, tidak dapat melakukan sharing informasi status gizi, tidak dapat memetakan lokasi informasi geografis, dll. 

Kekurangan tersebut yang kemudian diperbaiki dengan membangun aplikasi mobile (HP) berbasis OS Android. Semua fitur di aplikasi WHO diadaptasi pada aplikasi “dr. Sapto-Anthro”. 

“Dengan aplikasi ini secara metode, tujuh kali cepat dari cara manual, dan tentunya lebih akurat karena tidak perlu menggunakan rumus yang sulit,” katanya. 

Aplikasi “dr. Sapto-Anthro” memudahkan penjaringan oleh masyarakat dan mempercepat perbaikan gizi oleh puskesmas. Diharapkan, aplikasi ini dapat tersosialisasi dengan baik kepada semua orang tua agar mempercepat temuan kasus gizi dan dengan segera dilakukan perbaikan gizi. (p/ab)